001
BALADA BEDEBAH SUNYI
perempatan sunyi
lampu tak lagi berarti
merah kuning hijau
terdiam menatapmu risau
sesosok lelaki
terbangun membenci mentari
Sementara Yusi …
masih menanti ‘tuk kesekian kali
“Mengapa aku di sini?
Bodohnya mencintai
lelaki tanpa hati.
Tiada peduli.”
batin Yusi
Jendela mimpi
terbuka kembali
indah senyum pagi
mengejek menyeringai
Sambut dingin si lelaki
Sang Pencuri Hati
Cih!
Yusi menutup diri
di balik kaktus berduri
perih menusuk keji
bunga-bunga berharap mati
di depan gerbang berhari-hari
persembahan dari Yusi
percuma tersaji
lelaki keparat
biarkan ia berkarat
kasih sayang terbuang
puan semakin bimbang
sungguh malang
pulang tanpa hasil
gontai menggigil
“Oh, hujan
tolong sampaikan
perasaanku
yang diperkosa rindu.”
Pintu pun terbuka
setelah sekian lama
namun Yusi telah jauh pergi
rel panjang ia telusuri
ternyata hujan tepati janji
memanggil sisa jiwa sang lelaki
“Yusi!” teriaknya dari kejauhan
mungkinkah sebuah harapan
“Engkaulah aku
sebelum luka membunuhku”
bedebah itu pun pergi
menuju lorong sepi
hingga laju kereta api
melindas ironi
Yusi … kini sendiri
meratapi luka belati
di punggung mayat hati
mengulang tragedi
Tinta Angkara
Negeri Saba, 14 September 2018
002
PELANGI DI MALAM HARI
seperti pelangi
enggan menampakkan diri
pada gelapnya hati
di malam tragedi
takkan terjadi
terlalu tinggi hati
mungkinkah
ia datang ketika resah
mendengar keluh kesah
bagai bisikan mendesah
si puan yang basah
oleh darah
mengintip sepasang kekasih
yang saling menikmati perih
ketika mereka bersedih
terpaksa menangis lirih
saat kebahagiaan menyapih
harus memilih
kepada siapa kematian
akan diberikan
dua nyawa dipertahankan
sang ibu berkorban
demi kelahiran
tak terselamatkan
sayang, terlambat kini
bayi mungil menyusul pergi
tinggalkan ayah sendiri
berharap mati
tak kuasa lagi
pelangi pun pergi
Tinta Angkara
Negeri Saba, 14 Oktober 2018
003
PERTEMUAN RINDU
Kuingat kamu di pemakaman ibuku
tanpa tangis, hanya dirundung pilu
mungkin hanya simpati palsu
ataukah empati aku tak tahu
Tertunduk aku di depan peti mati
melirikmu sang pemikat hati
di selimut bumi ujung hari
tumbuhkan rindu, kau kunikmati
Aku terlalu malu untuk bertanya
agar kau berikan satu nama
pada wajah cantik serupa bunga
yang kau simpan di balik kacamata
Malam datang hadirkan sunyi
tanpa dirimu ada di sisi
angan melayang berkali-kali
kuingin berjumpa sekali lagi
Selalu saja terbayang
akankan masa akan terulang
Kujadikan saja kenyataan
momentum pertemuan
Bila kakakku mati
mungkin kau tak peduli
kubunuh saja ayahku hari ini
Datanglah ke pemakamannya esok hari
Tinta Angkara
Negeri Saba, 21 October 2018
004
BALADA WANITA BERAMBUT MERAH
Dengarlah! Gemericik padi
Kuningnya dimerahkan mentari
Kala senja membara hangatkan mucikari
Ketika cinta tak mengenal harga diri
Gubuk remang di tengah pematang
Rambut merah merekah tersenyum menantang
Desah-desah berganti gelisah
Tuan tanah lampiaskan amarah
Malam ini sunyi
Kelam hari merebah ke hati
Lelaki pengecut melarikan diri
Bedebah! Tinggalkannya sendiri
Berdarah-darah
Nafas terengah
Kerkulai lemah
Harapan punah … sudah
Si rambut merah mati
Kini, tanpa senyum mengiringi
“Bikin rugi” kata si mucikari
Tak peduli, tinggal cari lagi
Tinta Angkara
Negeri Saba, 25 Oktober 2018
005
PENJAHAT PERANG
pada langit yang menghujan
di atas mayat-mayat perjuangan
merubah genderang jadi keheningan
kampung halaman riuh tangisan
kesedihan, tak pernah sirna
merasuk dalam duka cita
orang-orang mengheningkan cipta
kepedulian, setelah sekian lama
datang jua, mayat-mayat pergi
dibawa lari, entah di mana kini
mereka berpura-pura simpati
tanpa empati terkadang menghakimi
sejarah yang kau politisasi
hanya kenangan pahit bagi kami
kalian usik lagi dan lagi
bukan kebenaran yang dicari
mengharap kemenangan
kami tetap saja kehilangan
bila kelam hari akan terulang
kalianlah para penjahat perang
Tinta Angkara
Negeri Saba, 28 Oktober 2018
006
KAMISAN
Kami bawa payung hitam
untuk menaungi masa kelam
pada jiwa-jiwa berjuang
pemilik mayat-mayat yang hilang
Bertahun-tahun menagih janji
mempertanyakan setiap kali
kami datang ke sini
“Di mana anak-anak kami?”
Yang memperjuangkan dikutuk kematian
pelanggaran tetap saja disembunyikan
Takkan pernah bisa terlupakan
meski disogok pembangunan jalan
Tiada Kamis yang terlewatkan
demi sebuah kedamaian
pertanyaan yang terabaikan
“Akankah kami dapatkan?”
Dalam hitam kami berkabung
jiwa-jiwa baru ikut bergabung
Berempati segenap hati
suarakan hati
Masih menunggu
sampai kapan kalian mau
mencari jawaban
atas kematian
Tinta Angkara
Negeri Saba, 28 Oktober 2018
007
DERU DEBU
Tanah-tanah kerontang
menjadi debu jalanan
terhempas dan terbang
dihirup seseorang
merusak paru-paru
menggerogoti tanpa ragu
di antara hitam nikotin
keluar sebagai dahak dingin
sedingin kematian
sedikit kesakitan
jatuh kembali
sampah nabati (?)
terinjak masuk dalam-dalam
lebih seperti pemakaman
membunuh rumput mematikan
namun tak disebut pahlawan
kau dan aku percaya
bahwa tanah adalah kita
bukan yang subur mensejahterakan
hanya debu serupa kotoran
Tinta Angkara
Negeri Saba, 28 Oktober 2018
008
BUKAN PERAWAN
pegang tangan ini erat
langkah kaki tak lagi berat
karena tujuan kita mendekat
bangunan lama bernuansa pekat
sekap aku yang lemah ini
kloroform buatku enggan berdiri
di dahiku kautulis luka
tak sadarkah aku menikmatinya
perkosa aku perlahan
pada lembut goresan tangan
nafsu mulai terbangkitkan
mengambil alih kekuasaan
sayang, aku bukan perawan
bagiku engkaulah korban
jantungmu sungguh lembut menawan
ketika kuraih dengan kedua tangan
dalam kegelapan malam itu
kuminum kamu sepuas hatiku
nikmati setiap tetes wajahmu yang lugu
ketidaktahuan terasa begitu lucu
ketika kau mati tanpa baju
seharusnya kau pikir dulu
sebelum memilihku
Tinta Angkara
Negeri Saba, 29 Oktober 2018
009
JANJI SUCI
Tunggu aku sore nanti
aku pulang langkahkan kaki
Kubawakan kekasih hati
yang telah lama kau cintai
Tak perlu lagi sembunyi
kutahu semua yang terjadi
kini tak lagi aku pungkiri
ternyata bukanlah mimpi
Aku datang
seperti yang kujanjikan
Dialah pujaan
padamu kuhadiahkan
Tubuhnya terlalu berat kubawa
tangan dan kakinya entah ke mana
hanya kepala yang membuatmu mencinta
kujahitkan senyum agar terlihat tampan menggoda
Tak perlu menangis histeris
Berisik! Diam dan bantu aku mengais
sisa-sisa jiwa yang kau iris
kau tanam pada matanya yang manis
itu cintaku
yang kuberikan padamu
… dulu
Tinta Angkara
Negeri Saba, 29 Oktober 2018
010
LUKA LANI
Lani berkelana sunyi
dari hati hingga ujung bumi
Mendaki gunung tertinggi
untuk menatap lembah suci
Di mana tanah adalah tumpukan belati
Mencaci langkah menusuk berkali-kali
ini bukan sekedar mimpi atau ilusi
namun kenyataan dalam imaji
Lani terus mencari
muka sang ayah yang tinggalkannya pergi
sejak usia dini hingga dipagar nadi
ia temukan kini
amarah sebesar mentari
panas membakar diri
tanpa ragu hujani belati
pria paruh baya mati
Sulit dipahami
Lani tak sadar diri
kulitnya telah keriput kini
mayat itu Rudi, kakaknya sendiri
Dia yang begitu dibenci
selamatkan Rudi dari Lani
yang terlahir sebagai pembunuh sejati
kini benar-benar terjadi
Sang ayah telah lama mati
kini tinggal sesosok bayi
Tumbuh dengan dendam di hati
pada Lani yang membuatnya sendiri
Kenyataan dalam imaji … terulang kembali
Tinta Angkara
Negeri Saba, 29 Oktober 2018